Oleh : Adrinal Tanjung
Satu jam menjelang pulang ke rumah, sore ini saya kembali menulis. Besok hari libur kembali datang selama tiga hari. Sebuah jeda kecil yang memberi ruang untuk lebih hening dan menyegarkan pikiran. Semoga dalam waktu tersebut, ada kegembiraan sederhana yang tumbuh, dan juga pencerahan yang lahir dari perenungan.
Setelah 28 tahun mengabdi sebagai abdi negara, saya memandang perjalanan ini bukan hanya sebagai rangkaian penugasan, melainkan sebagai proses pembentukan diri. Saya bersyukur pernah diberi kesempatan mengabdi di dua lembaga pemerintah—sebuah kementerian dan satu lembaga non-kementerian—yang masing-masing memiliki karakteristik, ritme, dan budaya kerja yang berbeda. Perbedaan ini memperkaya perspektif saya dan mengajarkan banyak hal tentang fleksibilitas, keteguhan prinsip, serta pentingnya beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Begitu pula saat menjalani peran dalam dua jalur karier baik struktural maupun fungsional. Saat menjabat struktural, saya belajar tentang tanggung jawab institusional dan kepemimpinan dalam sistem. Sementara selama lima tahun terakhir sebagai pejabat fungsional, saya menemukan ruang refleksi yang lebih luas, sekaligus tantangan untuk tetap menunjukkan kontribusi tanpa dukungan atribut formal. Setiap jalur memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan saya bersyukur pernah merasakan keduanya.
Satu hal yang saya pelajari dan tetap relevan, apapun posisi dan institusinya komunikasi dan relasi memberi nilai dalam pelaksanaan tugas. Di setiap penugasan, jaringan kerja yang sehat, kolaboratif, dan dilandasi kepercayaan, selalu menjadi kunci keberhasilan. Itulah yang terus saya jaga—karena jabatan bisa berganti, tapi nilai hubungan baik dan integritas pribadi akan selalu dibutuhkan.
Di tengah menjalani peran sebagai abdi negara, saya juga tak melepaskan diri dari dunia literasi. Selama hampir dua dekade, saya berupaya konsisten menulis dan telah menerbitkan tak kurang dari 50 buku. Sebagian besar lahir dari pengamatan, pengalaman, dan refleksi selama bertugas. Dari jumlah itu, lima buku telah saya daftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Kementerian Hukum dan HAM—di antaranya Birokrat Menulis, Birokrat Move On, dan Satu Birokrat Satu Buku.
Hari ini, saya mendapatkan pencerahan yang sangat bernilai dari pertemuan dan diskusi di acara Library Cafe BPKP dengan nara sumber Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum. Pembahasan seputar Perlindungan dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual bukan hanya memperluas wawasan saya, tapi juga memperkuat semangat untuk terus berkarya. Ternyata, karya tidak berhenti di publikasi—ia juga perlu dilindungi, dihargai, dan dikembangkan lebih jauh.
Saya percaya, menulis adalah bentuk kontribusi lain yang tak kalah penting. Ia mendokumentasikan pemikiran, memperpanjang usia pengalaman, dan—semoga—memberi manfaat bagi yang membaca. Lewat tulisan, saya ingin terus berbagi, meski kelak tak lagi berada di balik meja birokrasi.
Kini tersisa 5,5 tahun masa pengabdian. Angka yang tidak panjang, namun cukup untuk memastikan bahwa sisa waktu dijalani dengan sadar, bermakna, dan tetap memberi kontribusi. Saya ingin mengakhiri perjalanan ini dengan kepala tegak, bukan karena jabatan, tetapi karena karya dan nilai-nilai yang dijaga hingga akhir.
Libur tiga hari ini saya sambut bukan sekadar sebagai waktu rehat, tapi juga momen refleksi. Untuk kembali menata langkah, menyusun peta jalan baru, dan memperkuat komitmen bahwa di manapun ditempatkan, saya akan tetap berusaha memberi yang terbaik.
Perjalanan ini belum selesai. Masih banyak rencana untuk sisa pengabdian yang akan dilakukan. Menjaga semangat dan terus relevan menjadi sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Berusaha untuk tetap eksis di tengah disrupsi yang terus terjadi di berbagai lini. Semoga selalu hadir dan kian bermanfaat.
Utan Kayu, 15 Agustus 2025
