Oleh : Adrinal Tanjung
Liburan adalah waktu yang ditunggu-tunggu, sebuah momen untuk melupakan rutinitas dan menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang kita sayangi. Begitu juga yang saya rasakan saat memulai perjalanan ke Singapura di awal Januari 2025 bersama istri dan keluarga. Dengan semangat tinggi, kami menyambut hari pertama kami di negeri singa ini, melangkah keluar dari bandara Changi yang terkenal megah dan teratur. Segala sesuatunya terlihat sempurna, dan saya merasa hidup ini begitu indah.
Namun, hidup selalu punya cara untuk mengingatkan kita bahwa segala sesuatu tidak selalu berjalan sesuai rencana. Setelah makan siang yang terlambat di Marina Bay, suasana yang ceria tiba-tiba berubah. Istri saya mulai merasa pusing dan wajahnya pucat. Dalam sekejap, kegembiraan kami berganti dengan rasa cemas yang luar biasa. Kami meminta bantuan petugas untuk menyediakan kursi roda dan langsung menuju rumah sakit terdekat, Raffles Hospital, dengan harapan bisa segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Di tengah kepanikan tersebut, saya menyadari satu hal yang cukup menggetarkan hati: betapa kita sering kali terlena oleh kebahagiaan sementara, hingga lupa untuk bersyukur atas kesehatan yang kita miliki. Terkadang, kita baru menyadari betapa berharganya tubuh kita dan nikmatnya hidup yang sehat, hanya setelah merasa kehilangan atau terancam.
Selama hampir dua jam di rumah sakit, dengan cepat dan profesional dokter serta tim medis memberikan perawatan. Saya merasa bersyukur, tapi juga teringat pada satu hal yang sangat penting—sakit, meskipun tidak diinginkan, bisa menjadi jalan untuk menemukan kedamaian dan ketenangan batin yang selama ini terlupakan. Dalam keheningan itu, saya mulai meresapi sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang sakit.
Gede Prama, seorang pemikir yang sangat saya kagumi, pernah mengatakan bahwa "sakit adalah vitamin jiwa." Saya mulai mengerti bahwa sakit memang bisa membawa kita pada pertumbuhan batin yang luar biasa. Sakit mengingatkan kita akan ketidakberdayaan kita sebagai manusia, bahwa segala sesuatu di dunia ini bukanlah milik kita secara mutlak. Sakit mengajarkan kita untuk lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih dekat dengan Tuhan.
Selain itu, sakit tidak selalu berarti musibah. Dalam banyak kasus, sakit adalah nikmat tersembunyi yang dapat mendekatkan kita pada hikmah dan kebijaksanaan. Dalam Islam, misalnya, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya” (HR. Muslim). Ini adalah salah satu bentuk rahmat dari Allah, di mana sakit yang kita alami bisa menjadi penghapus dosa, membawa kita pada pembersihan jiwa yang mungkin tidak kita sadari sebelumnya.
Namun, yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa sakit juga dapat menjadi pengingat bagi kita untuk kembali mengingat Allah. Ketika segala sesuatunya berjalan lancar, kita sering kali merasa cukup dengan kekuatan kita sendiri, merasa bahwa kita mampu mengendalikan hidup ini tanpa terlalu bergantung pada-Nya. Tapi begitu kita sakit, kita kembali menyadari betapa rapuhnya kita. Saat tubuh melemah, pikiran kita justru terfokus pada satu hal yang paling penting: memohon kepada Allah, mengharapkan kesembuhan dan pertolongan-Nya.
Ternyata, sakit adalah cara Allah mengingatkan kita untuk tidak lupa bersyukur, untuk kembali kepada-Nya dengan hati yang penuh penyesalan dan harapan. Ia membuka mata hati kita bahwa dalam setiap kesulitan, kita selalu punya kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, meminta ampunan, dan berharap pada rahmat-Nya.
Pengalaman tersebut mengajarkan saya satu hal yang sangat berharga: hidup ini penuh ketidakpastian. Kita tidak bisa menghindari ujian atau cobaan, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita meresponsnya. Sakit bisa datang kapan saja, di tempat yang tak terduga, bahkan saat kita merasa bahagia dan tenang. Namun, yang penting adalah bagaimana kita menjadikannya sebagai kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang diri kita, tentang kesabaran, dan tentang cara kita bersyukur.
Jadi, meskipun liburan kali ini tidak sepenuhnya sesuai harapan, saya merasa bersyukur bisa melalui pengalaman ini dengan keluarga. Terkadang, yang kita anggap sebagai gangguan atau hambatan, sebenarnya adalah cara Tuhan mengarahkan kita untuk lebih dekat dengan-Nya, untuk lebih menghargai nikmat hidup dan kesehatan, serta untuk lebih sabar dan ikhlas menerima takdir-Nya.
Semoga kita selalu bisa mengambil hikmah dari setiap peristiwa, baik suka maupun duka, dan selalu ingat bahwa hidup ini adalah perjalanan yang penuh pelajaran, yang mengajarkan kita untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, dan lebih bersyukur.
Bekasi, 27 Januari 2025