Oleh : Adrinal Tanjung
"Beberapa kata tak bisa lahir di tengah riuh. Ia hanya bersedia turun saat jiwa telah basah oleh doa dan langit masih lengang.”
Langit Palu belum sepenuhnya terang. Cahaya Subuh baru saja menyingkap tirai malam. Hanafi duduk di meja kecil dekat jendela, mengenakan jaket tipis dan menatap layar laptop yang mulai dipenuhi paragraf-paragraf harian. Di luar, suara azan dari masjid lingkungan terdengar sayup. Teh hangat mengepul pelan di sisi kanannya. Ia baru saja menunaikan salat Subuh, dan seperti pagi-pagi sebelumnya, ia menghadiahi dirinya satu hal kecil namun penting: satu paragraf.
Bukan untuk mengejar tenggat. Bukan untuk menyelesaikan buku. Tapi sebagai bentuk perenungan, bahkan kadang sebagai bentuk syukur.
“Di kota yang asing, di antara tumpukan pekerjaan dan rutinitas kerja, aku masih bisa menemukan satu ruang kecil: tempat kata-kata tumbuh dan menenangkan”, ujarnya
Paragraf itu lahir dengan lembut. Kadang dari sisa mimpi, kadang dari doa yang tak selesai di sajadah. Tak selalu sempurna, tapi selalu jujur.
Malam hari, keheningan makin dalam. Hanafi bangun perlahan dari tidurnya. Jam menunjukkan pukul 02.08. Setelah menunaikan tahajud dengan tenang, ia kembali duduk di meja yang sama. Meja kayu tua yang telah menjadi saksi bisu pertumbuhan jiwanya.
Ruang dinasnya sepi. Tak ada anak-anak, tak ada suara televisi, tak ada langkah kaki istri. Sebab, istrinya bekerja di Jakarta. Mereka baru menikah beberapa bulan lalu. Masih belajar memahami ritme hidup masing-masing. Masih belajar menjadi rumah bagi satu sama lain — meski rumah itu, untuk sementara waktu, berjeda ribuan kilometer.
Hanafi kembali menatap layar. Ia menambahkan satu kalimat lagi di akhir paragraf malamnya.
“Kadang, cinta tak selalu hadir dalam pelukan. Tapi dalam kalimat yang ditulis jauh setelah semua orang tertidur.”
Ia menyimpan dokumen, menutup laptop, dan meneguk air putih pelan. Lalu memejamkan mata, dengan rasa damai yang perlahan mengendap. Tak semua kesepian buruk. Tak semua jarak membuat jauh. Karena dari ruang sunyi inilah, Hanafi tumbuh. Dengan kata-kata. Dengan doa. Dan dengan seseorang yang percaya padanya, meski dari kota yang berbeda.
Satu paragraf usai Subuh. Satu paragraf tengah malam usai tahajud.
Di sanalah Hanafi menyusun hidupnya — dalam doa, dalam kata, dan dalam cinta yang perlahan tapi pasti, bergerak dalam hening.
Bekasi, 27 Juli 2025