
Fiksi
Cerita Bersambung
Padang ibu kota Sumatera Barat, disanalah Hanafi menyelesaikan kuliahnya — penuh semangat, penuh impian. Namun setelah toga dilepas dan ijazah digenggam, kenyataan datang seperti pukulan ringan tapi pasti, mencari pekerjaan untuk membangun masa depan.
Jakarta menjadi pelabuhan pertama. Kota yang katanya kejam, tapi menyimpan banyak kemungkinan. Hanafi menumpang di rumah saudara sambil menyebar lamaran kerja ke berbagai instansi dan kantor. Setiap pagi ia naik bus kota, menggenggam map cokelat seperti menggenggam harapan.
Hingga suatu hari, ia dipanggil oleh sebuah instansi pemerintah. Ujian administrasi, tes tertulis, lalu wawancara. Ia tak terlalu yakin lolos. Tapi Tuhan seperti sedang membuka pintu kecil yang tak terlihat.
Beberapa minggu kemudian, surat panggilan itu datang. Resmi: diterima.
Tapi ia tidak akan ditempatkan di Jakarta. Sulawesi Tengah. Palu. Sebuah kota yang hanya ia dengar dari peta, dan tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian dari hidupnya.
Jarak mulai tumbuh di antara mereka.
Tapi di sanalah, justru tulisan-tulisan Hanafi lahir. Menulis dari catatan-catatan hati yang ia kirimkan untuk Dewi. Bukan puisi, bukan cerpen, hanya sepenggal kisah, sepenggal rindu, dan perenungan tentang hidup, cinta, dan waktu.
Setiap malam, sebelum tidur, Hanafi menulis.
Kadang panjang, kadang hanya beberapa paragraf. Lalu ia kirimkan melalui surat, atau kadang lewat surel. Tak ada yang tahu, hanya Dewi.
"Jarak membuatku menulis, karena aku tak bisa bicara langsung.
Tapi menulis membuatku justru lebih jujur. Karena kata-kata yang kutulis tak bisa sembunyi di balik ekspresi. Di sinilah aku bisa mengatakan bahwa aku takut kehilanganmu. Tapi lebih takut kehilangan diriku sendiri jika berhenti mengejar mimpi."
Dewi selalu membalas dengan tenang. Singkat. Kadang ia hanya menjawab dengan satu kalimat:
“Aku baca semua yang kamu tulis.”
Itu cukup. Itu seperti pelukan dari jauh.
Tahun berikutnya, mereka menikah.
Bukan dengan pesta besar, hanya dengan syukur yang dalam.
Mereka masih hidup terpisah: Hanafi di Palu, Dewi di Jakarta. Tapi tulisan mereka menyatukan jarak. Dalam tulisan, mereka selalu pulang satu sama lain.
Hanafi menyadari sesuatu:
Menulis bukan hanya soal menyusun kalimat. Tapi soal keberanian mencurahkan isi hati — kepada seseorang yang berharga, kepada masa lalu yang belum selesai, dan akhirnya, kepada diri sendiri.
"Mungkin aku tak akan menjadi penulis bila tidak pernah jatuh cinta."
"Dan mungkin aku tak akan bisa menulis jujur, kalau Dewi tak pernah membaca."
Jakarta terasa makin jauh, begitu juga Palu.
Mereka memutuskan untuk tidak menunggu segalanya sempurna. Karena hidup, menurut Hanafi dan Dewi, bukan tentang menunggu semuanya siap — tapi tentang berani memulai dengan yang ada.
Setelah hampir satu tahun bekerja dan menabung, Hanafi mengumpulkan keberanian. Tidak ada cincin mahal. Tidak ada rencana pesta meriah. Hanya niat yang matang dan cinta yang dijaga dalam diam selama ini.
“Kita nikah di Padang saja, Di,” ucap Hanafi suatu malam lewat telepon.
“Sederhana, tapi penuh restu.”
“Aku siap,” jawab Dewi. Sesederhana itu. Dan sesungguhnya, semewah itulah maknanya.
Bogor, 25 Juli 2025
(Bersambung)