Fiksi
Cerita Bersambung 03
Oleh: Adrinal Tanjung
Ada masa ketika menulis terasa lebih berat dari biasanya.
Bukan karena kehabisan ide. Bukan pula karena tumpukan pekerjaan kantor. Tapi karena sunyi yang diam-diam menyusup ke dalam hati—sunyi yang datang justru dari orang-orang terdekat, mereka yang seharusnya paling memahami, tapi tak lagi melihat makna di balik semua ini.
“Menulis lagi?” komentar pendek itu terdengar berulang, diucapkan dengan nada datar yang justru lebih menusuk daripada teguran keras.
Istri Hanafi tak pernah melarangnya menulis secara terang-terangan. Tapi diamnya menyimpan luka yang tak terucap. Ia tak benar-benar mengerti mengapa Hanafi rela begadang hanya demi menyusun kalimat yang belum tentu akan dibaca siapa pun. Ia tak paham mengapa suaminya lebih bergairah menatap layar laptop daripada membahas rencana akhir pekan bersama anak-anak.
Pernah suatu malam, anak bungsunya bertanya polos, “Ayah nulis terus, buat siapa?”
Hanafi terdiam. Di kepalanya berkecamuk jawaban panjang: Untuk kalian. Untuk masa depan kalian. Untuk negeri ini. Tapi kata-kata itu hanya terdengar gagah di dalam hati. Kenyataannya, ia hanyalah pria yang lebih sering menghabiskan malam dengan kata-kata, daripada menemani anaknya mengerjakan tugas sekolah atau membaca dongeng pengantar tidur.
Waktu telah menjadi musuh yang kejam. Siang hari milik pekerjaan kantor agar laporan, rapat, target, dinas luar kota. Malam hari satu-satunya ruang tersisa untuk menulis—yang artinya mencuri waktu dari keluarga, dari istirahat, bahkan dari dirinya sendiri.
Kadang Hanafi bertanya dalam hati, apakah semua ini pantas?
Ratusan artikel telah ia tulis. Puluhan buku sudah diterbitkan. Tapi berapa banyak yang benar-benar membaca? Siapa yang peduli pada proses panjang dan sunyi di balik tiap halaman?
Honornya tak seberapa. Namanya nyaris tak dikenal. Karyanya tenggelam di antara lautan tulisan lain yang lebih mendapat sorotan. Ia merasa seperti mendaki gunung tanpa kepastian puncak. Yang paling menyakitkan bukanlah kelelahan itu sendiri. Tapi rasa tidak dianggap.
Hanafi sering merasa berjalan di lorong gelap, hanya ditemani gema langkahnya sendiri. Sesekali, ia berharap ada yang menyentuh bahunya dan berkata, “Terima kasih sudah menulis sejauh ini.” Tapi kalimat itu tak pernah datang. Bahkan dari rumah sendiri pun tidak.
Namun di tengah sunyi itu, ada suara lain yang terus menyala—suara dari dalam dirinya sendiri. Suara yang lembut tapi tegas, yang mengingatkan kembali alasan ia memulai semuanya. Bahwa menulis bukan tentang popularitas. Bukan tentang pujian. Tapi tentang kesetiaan pada makna. Tentang keberanian menyuarakan isi hati.
Ya, kadang Hanafi goyah. Kadang ia berpikir untuk berhenti. Tapi tiap kali menatap halaman kosong, jemarinya tak bisa diam. Ada sesuatu yang menggerakkannya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ambisi. Mungkin inilah caranya bertahan. Agar ia tetap menjadi manusia yang utuh, bukan hanya sekadar pegawai atau kepala keluarga. Dan untuk itu, Hanafi rela menulis—meskipun sendiri.
Utan Kayu, 31 Juli 2025