Tiga Hari, Sejuta Cerita

Jumat, 27 Juni 2025 Last Updated 2025-06-27T10:30:31Z


Oleh : Adrinal Tanjung

Dua malam tiga hari di Kota Surabaya bukan sekadar perjalanan dinas. Ia adalah perjalanan jiwa—penuh makna, mempererat silaturahmi, dan memperkaya batin. Tugas utama yang diemban terlaksana dengan baik. Namun yang paling membekas justru hadir dalam momen-momen sederhana di luar agenda formal. Interaksi yang hangat, kolaborasi yang terbuka, hingga napak tilas sejarah yang menyentuh hati dan menguatkan kembali jati diri. Langkah ini mungkin kecil bagi negeri, namun begitu bermakna besar bagi diri sendiri.

Pertemuan  Berawal

Salah satu titik paling berkesan dalam perjalanan ini adalah pertemuan hangat dengan Dr. Dimas Agung Trisliatanto, S.IIP., M.PSDM. Sebelumnya, kami hanya saling mengenal lewat grup WhatsApp—lebih tepatnya, melalui komunitas Rumah Produktif Indonesia, sebuah ruang kolaborasi yang terbentuk pada awal pandemi COVID-19. Dari sanalah saya mengenal Mas Dimas sebagai pribadi yang aktif, suportif, dan penuh semangat berbagi wawasan seputar produktivitas dan pengembangan sumber daya manusia. 

Ketika rencana perjalanan dinas ke Surabaya datang, saya pun tak ragu untuk menyapa kembali. Tanggapan dari Mas Dimas begitu antusias. Tak hanya bersedia bertemu, ia juga siap membantu mengoordinasikan agenda kunjungan saya di Surabaya.


Pertemuan Perdana

Pertemuan pertama kami secara langsung terjadi pada Selasa sore, hanya sekitar satu jam setelah saya tiba di penginapan. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe di kawasan Jalan Tunjungan—jantung Kota Surabaya yang kaya akan sejarah kolonial dan semangat perjuangan.

Sore itu, langit Surabaya terasa syahdu. Hangat. Ada suasana yang tak bisa dijelaskan, seolah menyambut pertemuan yang telah lama direncanakan secara batin. Meski ini adalah pertemuan perdana secara fisik, suasana langsung cair. Tak ada jeda canggung. Hanya tawa, kisah, dan percakapan mendalam tentang kehidupan, pekerjaan, dan impian masing-masing.

Kami menemukan banyak kesamaan—terutama tentang dinamika dunia kerja yaitu soal idealisme, ekspektasi yang tak selalu sejalan dengan realitas, serta bagaimana tetap menjalankan amanah dengan keteguhan hati.


Kolaborasi yang Berarti

Keesokan harinya, pertemuan kami berlanjut ke agenda yang sudah teragendakan. Mas Dimas mendampingi saya dan tim dalam kunjungan ke Pusat Komunikasi dan Informasi Publik Universitas Airlangga (PKIP Unair). Sejak awal, beliau ikut memfasilitasi pertemuan ini—dari menjembatani komunikasi, membuka akses, hingga memastikan agenda berjalan lancar.

Diskusi di Unair berlangsung dari pagi hingga siang dengan suasana yang cair, hangat, dan penuh tukar gagasan. Kami berbagi praktik baik seputar penerbitan majalah institusi, komunikasi publik, pengelolaan informasi, serta potensi kerja sama ke depan.

Kami mengabadikan momen dalam beberapa foto dokumentasi. Bukan semata formalitas, melainkan penanda bahwa kolaborasi yang baik selalu dimulai dari niat tulus dan hubungan antarmanusia yang kuat.


Jejak Sejarah dan Spiritualitas

Usai semua agenda resmi selesai, saya memiliki waktu jeda sekitar lima jam sebelum keberangkatan kereta malam dari Stasiun Pasar Turi menuju Semarang, tempat putri saya tengah merampungkan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Waktu yang sempit ini tak ingin saya sia-siakan.

Saya mengutarakan rencana kepada Mas Dimas untuk mengunjungi dua lokasi utama. Mengunjungi Hotel Majapahit, saksi bisu peristiwa heroik perobekan bendera Belanda, dan Masjid Al Akbar Surabaya, ikon spiritual dan arsitektur keislaman di Jawa Timur.


Mas Dimas menyambut dengan semangat, bahkan menambahkan beberapa destinasi lain. Mas Dimas menyambut dengan semangat, bahkan menambahkan beberapa destinasi lain.  Berkunjung ke Masjid Sunan Ampel, peninggalan Wali Songo yang menjadi pusat dakwah Islam, Jembatan Merah, lambang keberanian arek-arek Suroboyo, serta Kawasan Kota Lama Surabaya, tempat bangunan tua kolonial menyimpan kenangan masa lalu.

Perjalanan singkat ini diawali dengan semangkuk Soto Lamongan yang gurih dan pas di lidah. Makan siang sederhana, tapi terasa istimewa karena menjadi pembuka petualangan sejarah dan spiritual.


Hening di Tengah Riuh Kota

Di Masjid Sunan Ampel, saya melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashar secara jamak. Suasananya damai dan khusyuk. Ada kedamaian spiritual yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya sempat berziarah ke makam Sunan Ampel—merenungi jejak para wali yang telah menanamkan nilai-nilai Islam di bumi Jawa dengan kelembutan dan kebijaksanaan.

Dari sana, kami menyusuri Jalan Tunjungan dan Kota Lama Surabaya, menyaksikan harmoni masa lalu yang masih terjaga dalam wujud bangunan tua yang anggun, meski waktu terus melaju.

Perjalanan ditutup di Masjid Al Akbar, tempat yang menakjubkan dalam skala dan keindahan. Kubah besar berpadu dengan langit biru yang tenang. Saya duduk sejenak, memandangi kemegahan arsitektur yang tak hanya fisik, tetapi juga spiritual. Saat itu, saya larut dalam kekaguman dan syukur—atas kesehatan, pertemuan, perjalanan, dan semua hikmah yang Allah titipkan di tengah-tengah tugas dan langkah kaki.


Perjalanan Jiwa

Foto-foto yang saya ambil selama di Surabaya bukan sekadar dokumentasi visual. Mereka adalah penanda batin, bahwa dalam setiap langkah tugas ada ruang untuk belajar, berjejaring, dan menyerap nilai. Bahwa jeda lima jam pun bisa menjadi ruang pembentuk makna—asal dijalani dengan hati yang terbuka.

Surabaya bukan hanya Kota Pahlawan. Bagi saya, ia adalah kota pertemanan, kota pembelajaran, kota pengingat nilai-nilai luhur yang sering kita lupakan dalam kesibukan harian. Kota yang menghidupkan kembali semangat untuk melangkah—sekecil apa pun, asal konsisten dan tulus niatnya. Terima kasih Mas Dimas, untuk sambutan yang hangat dan luar biasa. Sampai jumpa lagi.

Semarang, 27 Juni 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tiga Hari, Sejuta Cerita

Trending Now

Profil

iklan