Oleh : Adrinal Tanjung
Founder Satu Birokrat Satu Buku
"Di tengah padatnya aktivitas, menulis adalah jeda yang menerangi. Bukan soal waktu yang lapang, tetapi tentang niat untuk terus berkarya. Karena menulis adalah cara sederhana untuk memberi cahaya bagi dunia."
Sudah lama saya mencermati sosok ini—sejak masa-masa kuliah di Jurusan Akuntansi, Universitas Andalas Padang. Ia adalah adik kelas saya, dua tahun di bawah. Dari dulu, kesan yang melekat padanya adalah sosok yang santai. Namun di balik sikap yang santai tersebut, tersimpan ketekunan dan potensi besar. Saat ini beliau adalah pejabat di kementerian keuangan, doktor dari salah satu kampus ternama di Amerika Serikat.
Prestasinya tidak hanya membanggakan, tetapi juga menyentuh. Ia menjadi contoh nyata bahwa meskipun tampak santai di keseharian, namun sosok ini ternyata pekerja keras. Sosok ini mampu menunjukkan kebanggaan bagi almamater, abdi negara yang memberikan pengabdian penuh makna.
Kemarin, seorang adik kelas menyapa saya dan menyampaikan sebuah usulan yang begitu menyentuh: "Mengapa tidak menulis buku tentang sosok ini?" Sebuah ide yang sederhana, namun terasa sangat berharga. Saya akui, waktu bukanlah sesuatu yang lapang saat ini. Ada dua proyek buku lain yang sedang saya rampungkan. Selain tugas utama di salah satu instansi pemerintah.
Dua buku yang sedang berjalan. Yang pertama adalah buku mengenai Angkatan 89 Akuntansi Universitas Andalas—angkatan kami. Buku ini bergenre semi-fiksi, ringan namun mencerahkan, merekam dinamika, kenangan, dan refleksi yang tak lekang oleh waktu. Buku ini saya tulis untuk menyambut reuni akbar. Sudah dua minggu terakhir saya berkutat dengan naskah buku yang akan menjadi legacy angkatan kami untuk almamater tercinta.
Buku berikutnya adalah buku tentang seorang rekan satu angkatan di FEB Unand namun dari jurusan berbeda, yang kini menjadi pejabat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kisahnya pun tak kalah inspiratif dengan berbagai capaian selama berkarir di institusi penting negeri ini. Saya satu SMA dan di jurusan yang sama. Kemudian melanjutkan studi di FEB Unand.
Dengan beberapa rencana tersebut, manajemen waktu menjadi tantangan serius. Di sela tugas-tugas utama lainnya yang juga tak jauh dari dunia menulis dan manajemen pengetahuan. Terus belajar membagi waktu menjadi krusial karena menulis telah menjadi bagian dari hidup, bukan sekadar aktivitas tambahan.
Saya menulis bukan semata untuk produktivitas, tapi untuk bergembira, memberi inspirasi, dan menjalin silaturrahmi. Setiap buku adalah jejak, dan setiap tulisan adalah jendela yang menghubungkan kita dengan lebih banyak jiwa.
Semoga niat menuliskan kisah tentang sosok adik kelas yang membanggakan ini bisa terwujud, walau dalam bentuk yang sederhana. Karena saya percaya, cerita tentang orang-orang baik perlu dirawat dan disebarkan. Dan semoga, karya ini nantinya menjadi bagian kecil dari upaya menerangi dunia—dengan kata yang penuh makna.
Menulis adalah sarana untuk berbagi pengetahuan, dan siapa yang mau meluangkan hati untuk berbagi. Dalam setiap kisah yang dituliskan, tersimpan semangat, keteladanan, dan harapan yang bisa menginspirasi banyak orang.
Di tengah kesibukan dan tuntutan peran yang silih berganti, saya percaya selalu ada ruang kecil untuk terus berkarya. Dengan menulis, kita tidak hanya mencatat perjalanan, tapi juga ikut menerangi jalan bagi mereka yang datang kemudian hari.
Bekasi, 24 Agustus 2025