Oleh : Adrinal Tanjung
Ada masa dalam hidup ketika seseorang hanya ditemani oleh kesunyian. Sunyi sebagai jalan takdir atau pilihan hidup. Sunyi yang menjaga agar kita tetap mengapung di tengah gelombang hidup yang kadang mengguncang. Dalam kesunyian itulah seseorang belajar membedakan antara yang rapuh dan yang kokoh, antara keinginan dan kebijaksanaan.
Sunyi bukan sekadar ruang tanpa suara. Ia adalah jeda yang menyelamatkan. Tempat menata ulang langkah, menimbang ulang tujuan, dan memungut kembali serpihan diri yang tercecer saat perjalanan terasa terlalu panjang. Sunyi hadir seperti pelampung, diam dan sederhana, tetapi setia menjaga agar tidak karam oleh rasa lelah, kecewa, atau kehilangan arah.
Di tengah sunyi itulah, kita belajar bahwa terang tidak selalu datang dalam bentuk cahaya yang memancar. Kadang ia hadir sebagai pemahaman kecil yang baru tersingkap setelah sekian lama terpendam. Kadang ia datang sebagai keberanian untuk melepaskan hal-hal yang tak lagi bisa dipertahankan. Dan kadang, terang itu muncul dalam bentuk tekad untuk terus melangkah meskipun jejak di depan belum sepenuhnya jelas.
Meniti jalan terang bukan berarti perjalanan bebas dari gelap. Sebaliknya, justru dalam gelaplah seseorang belajar mencari bintang-bintang kecil yang selama ini terabaikan. Setiap pengalaman getir, setiap luka yang tidak terlihat, dan setiap kegagalan yang membuat kita terdiam adalah bagian dari peta perjalanan menuju versi diri yang lebih bijak.
Pengalaman bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan sebuah proses pendewasaan yang memerlukan keberanian. Keberanian untuk kalah dengan lapang dada. Keberanian untuk menang tanpa lupa diri. Keberanian untuk disalahpahami, untuk tetap berdiri ketika langkah terasa pincang, dan untuk terus berkarya meski dunia tidak selalu ramah.
Hidup memang tak selalu sesuai hitungan kita. Tetapi justru karena tidak selalu sesuai, ia memberi ruang bagi kejutan, pembelajaran, dan kebijaksanaan. Dan selama kita menyimpan niat baik, jalan terang selalu menemukan caranya sendiri untuk muncul dengan pelan, sederhana, namun pasti.
Pada akhirnya, perjalanan membawa pada sebuah kesadaran yang meneduhkan. Kita tidak harus selalu kuat untuk bisa melanjutkan hidup. Kadang kita cukup bertahan, cukup bernapas, cukup percaya bahwa esok akan lebih ringan.
Dalam tembang yang dipopulerkan Bernadya berjudul “Untungnya, Hidup Masih Terus Berjalan,” saya menemukan gema yang terasa sangat dekat dan menggetarkan. Betapa hidup ini, dengan segala getir dan manisnya, ternyata tetap memberi kesempatan baru setiap hari. Selama hidup terus berjalan, selalu ada peluang untuk memperbaiki, menata ulang, dan menemukan kembali diri yang pernah hilang.
Dan di situlah makna terdalamnya. Pelampung sunyi yang selama ini menemani bukan untuk menahan kita di tempat, tetapi untuk memastikan agar kita tetap mampu meniti jalan terang yang menunggu di depan. Selama langkah masih mungkin diayunkan, selama hati masih mau menerima pelajaran waktu, maka perjalanan ini akan terus bergerak menuju hari-hari yang lebih jernih.
Hidup masih terus berjalan. Dan itu adalah berkah terbesar yang sering kali kita lupa syukuri. Tembang Untungnya, Hidup Masih Terus Berjalan kembali menemani pagi ini memberikan nyala semangat untuk terus melangkah dan berkarya. Semoga saja.
Denpasar, 18 November 2025





