Oleh : Adrinal Tanjung
Hari libur kerap dipersepsikan sebagai ruang berhenti. Namun bagi saya, ia justru menjadi ruang jeda—kesempatan untuk menata kembali langkah, menenangkan batin, dan memperdalam makna perjalanan. Di Pulau Dewata, di tengah suasana yang tenang dan langit yang kadang muram, saya belajar bahwa hidup tidak selalu meminta kita berlari. Ada kalanya ia hanya mengajak kita berhenti sejenak, menarik napas, lalu melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih lapang.
Gede Prama dalam bukunya Compassion menulis bahwa setiap manusia yang pernah mengalami tsunami kehidupan akan memahami satu hal penting: guncangan bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan. Kalimat itu hadir sebagai penghiburan di tengah suasana hati yang sempat gundah. Dua hari menjalankan tugas di kantor pada hari libur justru menghadirkan ketenangan tersendiri. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Setiap tugas pasti rampung, dan setiap orang memiliki porsinya masing-masing dalam mengemban amanah.
Minggu pagi, sebelum berangkat ke kantor, saya melangkahkan kaki ke Pantai Sanur. Niatnya sederhana: mencari udara segar dan keheningan. Namun belum genap tiga puluh menit, gerimis turun perlahan. Saya berhenti sejenak, menuju sebuah warung kecil, memesan minuman, lalu duduk menikmati suasana. Gerimis yang datang dan pergi seolah mengajak saya untuk belajar menerima ritme alam—datang tanpa diminta, pergi tanpa diminta pula.
Saat mencoba melanjutkan langkah, gerimis kembali turun lebih deras. Saya pun mencari tempat berteduh dan di sanalah saya bertemu beberapa anak muda kreatif yang membawa kamera. Mereka memotret dan mengabadikan momen lengkap dengan pengunjung yang kebetulan melewati sudut-sudut Pantai Sanur. Dokumentasi tersebut kemudian ditampilkan melalui sebuah aplikasi digital. Cara mereka berkarya sederhana, namun sarat semangat dan harapan.
Kami saling menyapa dan berbincang singkat. Tentang aktivitas, asal daerah, dan pilihan hidup yang sedang dijalani. Percakapan yang singkat, tetapi bermakna. Kami bertukar nomor kontak, berharap suatu hari bisa kembali berjumpa. Pertemuan kecil itu mengingatkan saya bahwa setiap orang sedang berjalan dengan kisah dan perjuangannya masing-masing. Perjalanan, betapapun singkatnya, selalu menyimpan pelajaran.
Tak lama kemudian, saya pamit. Ada tanggung jawab yang menunggu untuk dirampungkan di kantor, sesuai rencana yang telah disusun. Bekerja di hari libur bukan tentang mengorbankan waktu, melainkan tentang menuntaskan amanah dengan penuh kesadaran. Di sanalah saya menemukan makna pengabdian untuk hadir dan bermanfaat, tanpa banyak keluh, tanpa kehilangan rasa syukur.
Sisa dua minggu menjelang pergantian menuju tahun 2026 saya jalani dengan ritme yang lebih tenang. Menikmati apa yang ada, mensyukuri setiap proses, dan membalut langkah dengan kesabaran. Senja yang datang, gerimis yang singgah, perjumpaan yang singkat, serta tugas yang harus diselesaikan, semuanya menyatu menjadi jejak-jejak kecil syukur di hari libur.
Hidup tidak selalu tentang pencapaian besar. Ia sering berdiam dalam momen-momen sederhana. Saat kita memilih tenang di tengah guncangan, setia pada tanggung jawab, dan terus melangkah dengan hati yang penuh rasa syukur. Pada akhirnya, syukur menjadikan setiap jeda bermakna dan setiap langkah terasa ringan. Selama hati tetap terhubung pada keikhlasan, perjalanan apa pun akan selalu mengantar kita pada kebaikan.
Pantai Sanur, Minggu pagi, 14 Desember 2025



