Oleh : Adrinal Tanjung
Saya bersiap kembali ke Jakarta.
Di ruang tunggu bandara, waktu seolah berjalan lebih pelan. Masih tersisa lima puluh menit menjelang boarding, cukup untuk menarik napas, menata hati, dan menuliskan beberapa baris renungan.
Di jeda singkat ini, saya kembali merenungi skenario Ilahi yang tak pernah salah. Hidup memang kerap bergerak di luar dugaan. Rencana bisa berubah, arah bisa bergeser, namun selalu ada maksud baik yang menyertainya, meski tak selalu langsung dipahami.
Minggu-minggu terakhir menghadirkan banyak pelajaran. Tentang menerima tanpa mengeluh, tentang tetap melangkah meskipun jalan sering tak mudah , dan tentang belajar mensyukuri hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian. Saya belajar bahwa ketenangan perlu selalu dihadirkan di dalam diri.
Di tengah renungan itu, sebuah kalimat dari Gede Prama terasa begitu relevan dan menenangkan:“Kehidupan boleh bergerak ke mana saja, tapi oleh pikiran tercerahkan yang seluas ruang
hanya dipeluk dengan penuh senyuman.”
Kalimat itu seperti penegasan bahwa hidup tak perlu selalu dilawan atau dikendalikan. Cukup dipeluk dengan kesadaran, diterima dengan senyum, dan dijalani dengan lapang dada.
Perjalanan ini kembali mengingatkan saya bahwa hidup bukan soal menguasai keadaan, tetapi tentang menyerahkan segalanya dengan ikhlas. Ketika syukur menjadi sikap, bukan sekadar ucapan, maka setiap fase datang dan pergi, menjadi bagian dari pertumbuhan.
Lima puluh menit mungkin singkat. Namun di dalamnya tersimpan pelajaran panjang tentang makna sabar dan terus syukur.
Ketika panggilan boarding nanti terdengar, saya melangkah bukan hanya dengan koper di tangan, tetapi dengan hati yang lebih ringan dan tetap bergembira.
“Ketika langkah diserahkan sepenuhnya kepadaNya, tak ada perjalanan yang sia-sia, tak ada jeda yang hampa, karena setiap detik telah ditakar dengan hikmah.”
Sesaat sebelum boarding di Bandara Ngurah Rai Bali, 24 Desember 2025
