Senja, Keping Kenangan, dan Jejak di Ranah Minang

Senin, 06 Oktober 2025 Last Updated 2025-10-06T05:28:54Z

Oleh: Adrinal Tanjung

Sore itu, menjelang senja di hari Minggu, saya duduk sendiri di sudut sebuah kafe kecil di Padang. Langit mulai berwarna jingga, pelan-pelan meredupkan cahaya dan menyisakan kehangatan yang syahdu. Ada yang istimewa dalam keheningan sore itu—seperti ruang jeda di antara babak kehidupan yang terus berjalan. Satu jam ke depan saya bersiap menuju Bandara Internasional Minangkabau dan kembali ke Jakarta.

Enam hari berlalu begitu cepat. Enam hari yang penuh agenda, pertemuan, perjalanan, dan perenungan. Enam hari di tanah Minangkabau—ranah budaya yang tak hanya kaya cerita, tapi juga mengajarkan makna yang tak selalu bisa ditangkap dengan mata terbuka.


Sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk menjalankan penugasan. Tiga hari pertama, saat mendarat di Kota Padang, perjalanan berlanjut menyusuri Kota Padang, kemudian menyelami dinamika kerja di Perwakilan BPKP Sumatera Barat serta pertemuan terkait penugasan diagnostic reviu.

Menyimak cerita dan mencatat semua jawaban terkait penugasan. Salah satu pertemuan yang paling membekas adalah dengan Kepala Perwakilan BPKP Sumbar, Bapak Arif Hardiyanto.


Beliau adalah figur yang memancarkan ketegasan sekaligus ketenangan. Dalam pertemuan resmi di kantor, pembicaraan kami mengalir lugas dan penuh arah. Namun yang lebih menarik, diskusi itu berlanjut keesokan harinya, dalam suasana jauh lebih santai: sarapan pagi di sebuah warung kopi menikmati mie ayam dan secangkir teh hangat di kota Padang. Pembicaraan kami mengalir bebas—tentang kepemimpinan, tentang tantangan, dan tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara tugas dan kehidupan pribadi.


Dari dua suasana yang berbeda itu—formal dan informal—saya menangkap sesuatu yang istimewa: bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kapasitas intelektual atau kemampuan manajerial, tetapi juga tentang keteladanan. Tentang bagaimana seseorang tetap konsisten menjalankan nilai yang diyakininya, bahkan dalam hal-hal yang tampak kecil. Beliau adalah sosok yang tetap menjaga kebugaran melalui olahraga rutin, dan tak pernah meninggalkan salat berjamaah meski di tengah padatnya agenda. Hal-hal sederhana, namun mencerminkan kedisiplinan dan nilai hidup yang kuat.

Setelah urusan pekerjaan selesai, saya mengambil waktu untuk kembali menjelajah. Dari Bukittinggi hingga Payakumbuh, saya menyusuri jalan-jalan yang membawa saya kembali pada sejarah dan keindahan. Udara segar pegunungan, bentang sawah yang menghijau, Tak terasa, setiap perjalanan menjadi bukan sekadar wisata, tetapi ziarah kecil—kepada ingatan masa lalu dan rasa syukur atas hari ini.


Yang paling berkesan dari perjalanan ini adalah pertemuan kembali dengan rekan-rekan lama—senior dan sahabat semasa kuliah di Akuntansi Universitas Andalas. Obrolan kami mengalir seolah waktu tak pernah memisahkan. Tawa, cerita lama, dan semangat yang tak pernah padam menjadi pengingat bahwa ikatan batin tak lekang oleh jarak dan kesibukan.


Di hari terakhir, saya memutuskan untuk memelankan langkah dan memusatkan waktu sepenuhnya untuk keluarga. Makan malam sederhana, bercerita dari hati ke hati, dan terkadang diam bersama dalam kehangatan rumah. Ada kedamaian yang tak bisa dijelaskan dari pertemuan seperti itu. Kita tidak selalu harus berkata-kata banyak untuk mengerti satu sama lain—kadang cukup dengan hadir.


Kini, di penghujung hari, saya kembali duduk sendiri. Menatap langit yang semakin redup, dan membiarkan pikiran saya melayang ke segala arah. Saya mencoba menyusun ulang fragmen-fragmen kecil dari hari-hari yang telah berlalu, menyatukannya menjadi satu narasi utuh.


Saya sadar bahwa perjalanan ini bukan hanya soal berpindah tempat, tapi tentang bergerak secara batiniah. Tentang belajar kembali menghargai waktu, menghormati nilai-nilai kecil yang membentuk pribadi, dan menyadari bahwa hidup bukan sekadar sibuk—tetapi juga harus bermakna.


Namun sebelum itu, saya biarkan sore ini berjalan perlahan. Saya izinkan diri saya untuk diam sejenak, dan bersyukur. Untuk waktu yang telah dilalui. Untuk pertemuan yang berkesan. Untuk pelajaran yang tak tertulis. Dan untuk Ranah Minang yang kembali mengajarkan satu hal penting: bahwa menjadi besar dimulai dari menjadi rendah hati—mengenal akar sebelum tumbuh lebih tinggi.

Padang, 5 Oktober 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Senja, Keping Kenangan, dan Jejak di Ranah Minang

Trending Now

Profil

iklan