Fiksi
Cerita Bersambung 05
Oleh : Adrinal Tanjung
"Dalam sunyi subuh, ada jiwa-jiwa yang tak hanya terjaga, tapi juga menyala—bekerja dalam diam, berkarya dalam senyap, meninggalkan jejak yang abadi."
Di saat kebanyakan orang masih terlelap dalam kehangatan malam, ketika langit masih membentang gelap dan suara-suara dunia belum terdengar, Hanafi telah terjaga. Bukan karena terpaksa, bukan pula karena kewajiban, melainkan karena sebuah kebiasaan yang telah puluhan tahun dilakoninya. Menyambut subuh dengan kesadaran penuh dan jiwa yang lapang.
Sebagai seorang abdi negara, Hanafi menjalani hari-harinya dengan tanggung jawab dan loyalitas yang tak tergoyahkan. Ia hadir dalam rapat, melakukan perjalanan dinas ke daerah, memberikan sosialisasi, dan menyelesaikan tugas-tugas administratif dengan ketekunan. Namun, apa yang membuat Hanafi istimewa bukan hanya kiprahnya dalamtugas di pemerintahan, melainkan ketekunannya dalam menjalani pengabdian kedua yaitu menulis.
Dalam diam subuh, sebelum dunia menuntut apa-apa darinya, Hanafi sudah bangun dan duduk di meja tulis kecilnya. Biasanya diawali dengan sholat tahajud sebagai pembuka sebelum Hanafi menulis. Tak ada ambisi besar, tak ada sorak sorai. Hanya dirinya, dan aliran pikiran yang mengendap dari pengalaman, perenungan, dan harapan. Subuh adalah waktu yang sunyi, tapi justru dari kesunyian itulah lahir ratusan artikel dan tak kurang dari lima puluh buku yang telah ditulisnya.
Setiap kata yang Hanafi torehkan bukan sekadar barisan huruf, tapi adalah jejak-jejak sunyi dari perjalanan batinnya. Ia menulis tentang kehidupan, tentang manusia, tentang makna pengabdian. Ia percaya bahwa menulis adalah bentuk pelayanan, cara menyampaikan nilai tanpa perlu hadir secara fisik. Di tengah dunia yang gemar kebisingan dan kecepatan, Hanafi memilih jalan yang tenang—namun tidak diam.
Kebiasaan bangun sebelum subuh bukan sekadar rutinitas. Bagi Hanafi, itu adalah waktu suci, tempat bertemunya hening dan kejernihan hati. Saat kebanyakan orang baru akan memulai hari, Hanafi justru telah memberi makna pada waktunya. Ia memanfaatkan sunyi untuk membangun sesuatu yang lebih kekal daripada suara—yaitu gagasan.
Mereka yang mengenalnya mungkin hanya melihat sosok pegawai berdedikasi di siang hari. Tapi sedikit yang tahu bahwa sebelum mentari naik, ia telah lebih dulu menyalakan cahaya dalam dirinya. Cahaya yang tidak terlihat mata, tapi terasa oleh siapa pun yang membaca tulisannya.
"Jejak Sunyi Sang Pengabdi" bukan hanya tentang Hanafi—ini adalah potret dari siapa pun yang memilih untuk memberi tanpa banyak bicara, berkarya tanpa pamrih, dan terus menyala meski tidak disorot. Karena sejatinya, pengabdian tertinggi sering kali tidak terdengar—ia hanya terasa, dalam waktu, dalam karya, dan dalam hati mereka yang menerimanya.
Dari Hanafi kita bisa belajar bahwa bahwa pengabdian yang tulus dan karya akan lahir dari cinta sepenuh hati. Dalam keheningan subuh, ia menemukan kebahagiaan dalam menulis, dan dari kebahagiaan itu tumbuh kesuksesan yang tak hanya diukur dari banyaknya karya, tapi dari makna yang ia sebarkan. Jejak sunyinya mengajarkan kita bahwa kesetiaan pada tugas dan kecintaan pada karya bisa berjalan beriringan—menyalakan cahaya yang tak lekang oleh waktu.
Bekasi, 12 Agustus 2025