Oleh: Adrinal Tanjung
Siang ini, saya menyempatkan diri untuk duduk sejenak dan menulis. Di sela rutinitas birokrasi yang tidak pernah benar-benar berhenti, saya kembali merenungi perjalanan panjang sebagai seorang abdi negara, sekaligus seorang penulis. Dua peran yang barangkali jarang berjalan beriringan, tapi saya pilih untuk menyatukannya.
Sudah hampir tiga dekade saya mengabdi di instansi pemerintah. Dalam rentang waktu itu, saya melewati lebih dari 16 tahun sebagai pejabat struktural,dari jabatan pengawas hingga administrator. Hingga akhirnya, ketika gelombang penyederhanaan birokrasi bergulir, saya memilih langkah yang mungkin tak populer dengan beralih ke jabatan fungsional Analis Kebijakan Madya.
Langkah ini bukan semata soal penyesuaian kebijakan. Ia lebih seperti pulang ke rumah. Jabatan fungsional memberi saya ruang untuk berpikir, menulis, dan terus berkarya. Dunia menulis adalah dunia yang sejak lama saya cintai. Dan mungkin, inilah panggilan yang selama ini saya dengar samar-samar — hingga akhirnya saya menjawabnya secara penuh.
Hampir dua dekade saya menulis secara konsisten, dan lebih dari 50 buku sudah saya lahirkan. Bukan untuk mencari gelar, bukan untuk mengejar pamor, tetapi karena saya percaya, menulis adalah bentuk lain dari pengabdian. Sebuah cara sunyi untuk hadir, memberi makna, dan meninggalkan jejak.
Saya teringat satu momen yang begitu berkesan di bulan Juni 2021, ketika saya didaulat sebagai salah satu pembicara dalam Perpusnas Writers Festival, sebuah ajang bergengsi yang mempertemukan para pesohor literasi negeri ini. Kala itu saya berbagi panggung dengan nama-nama besar seperti Arys Hilman Nugraha, Ketua IKAPI; Ahmad Fuadi, penulis Negeri 5 Menara; dan Habiburrahman El Shirazy, penulis Ayat-Ayat Cinta.
Bersama mereka, saya bukan hanya berbagi ruang, tapi juga menyadari bahwa pilihan saya untuk menekuni jalan literasi bukan keputusan yang keliru. Tidak banyak orang dari birokrasi yang mendapat kesempatan seperti itu. Dan saya merasa bersyukur, bahwa di balik meja birokrasi, saya tetap bisa menjadi bagian dari ekosistem literasi nasional.
Belum lama ini pun saya meluncurkan secara terbatas buku terbaru saya, Refleksi 55: The Power of Silaturrahmi. Sebuah karya yang saya tulis dengan hati, sebagai penanda usia dan perjalanan. Dan dari titik ini, saya merasa bahwa jalan ke depan terbentang makin luas, bukan karena saya semakin tinggi, tetapi karena saya semakin tahu bahwa kemanfaatan adalah ukuran sesungguhnya dari kehadiran.
Sebagai pendiri komunitas Satu Birokrat Satu Buku, saya ingin terus mendorong rekan-rekan seprofesi untuk tidak hanya hadir sebagai pelaksana tugas, tapi juga sebagai penyumbang pemikiran. Karena birokrasi yang berpikir adalah birokrasi yang hidup. Dan birokrasi yang menulis adalah birokrasi yang meninggalkan warisan intelektual. Jabatan bisa berganti. Waktu akan terus berjalan. Tapi karya dan kemanfaatan bisa melampaui masa.
Saya tidak pernah merasa diri ini hebat. Tapi saya ingin terus hadir dengan cara yang sederhana namun bermakna. Hadir, untuk memberi manfaat. Hadir, melalui tulisan yang bisa menjangkau jauh lebih banyak daripada jangkauan tangan saya. Dan jika tulisan ini bisa menginspirasi satu orang saja untuk mulai berkarya, maka saya tahu langkah saya tidak sia-sia.
Karena pada akhirnya, menjadi hebat itu bukan tentang jabatan yang tinggi dan banyak sorotan yang diarahkan pada kita. Tapi seberapa luas cahaya yang kita sebarkan bagi sekitar. Selamat mencoba. Mari menulis untuk menerangi dunia.
Bekasi, 27 September 2025