Refleksi Seorang Ayah Menjelang Pernikahan Ananda, Dari Panggung Dunia ke Jalan Ibadah

Minggu, 28 September 2025 Last Updated 2025-09-28T10:34:42Z


Oleh : Adrinal Tanjung

Siang ini, pikiran saya melayang cukup jauh. Di tengah panas yang menyengat, hati justru terasa hangat oleh gelombang perasaan yang campur aduk: bahagia, haru, dan sedikit cemas. Pernikahan ananda Ilham—putra sulung kami—semakin dekat. Sebagai orang tua, saya merenung: inilah salah satu tugas besar yang kini harus kami tuntaskan. Mengantarkan anak hingga ke pelaminan adalah amanah, bukan sekadar tradisi.

Ilham adalah anak pertama kami. Sejak kecil, saya selalu menekankan pentingnya pendidikan sebagai bekal masa depan. Alhamdulillah, ia menyelesaikan studi S1 di Fakultas Pertanian, Jurusan Agribisnis, Universitas Padjadjaran, Bandung dalam waktu relatif cepat. Tak berhenti di sana, hampir setahun ini ia menempuh pendidikan pascasarjana dalam program Master of Business Administration (MBA) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Saya tidak menampik, pilihan itu sebagian besar adalah saran dan dorongan saya dan istri. Dunia kerja saat ini semakin kompetitif. Gelar akademik bukan jaminan, tetapi tetap menjadi nilai tambah yang penting. Saya berharap Ilham siap menghadapi tantangan itu.

Jelang hari pernikahannya, Ilham akan menyelesaikan semester kedua dari empat semester total. Dua semester lagi masih harus ditempuh. Harapan saya sederhana, setelah menikah, semangat untuk merampungkan studi harus semakin besar. Agar tanggung jawab baru tidak menghambat, tetapi justru memicu tekad untuk menyelesaikan studi tepat waktu dan meraih gelar MBA.


Dalam momen-momen seperti ini, saya tak bisa menahan diri untuk kembali merenung. Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 5 dan 6 September 2025, kami menghadiri pesta pernikahan keponakan tercinta, Nurul dan Reza di Kota Padang. Sebuah perayaan besar dalam adat Minangkabau yang disebut Rang Minang Baralek Gadang. Lebih dari 2.000 orang hadir. Tapi yang paling berkesan bukan hanya jumlahnya, melainkan semangat gotong royong dan kekompakan keluarga besar yang menyukseskan acara itu.

Hari ini pun saya dan istri menghadiri pesta megah lainnya—resepsi Arin dan Rayi di Landmark Tower Telkom, Gatot Subroto, Jakarta. Sebuah tempat yang bergengsi. Acara yang tertata rapi dengan nuansa adat Palembang yang megah. Jumlah tamu mencapai 1.000 orang. Rekan istri saya, Bayu Mario, benar-benar mempersiapkan acara ini dengan matang. Kami pun turut bersyukur bisa menyaksikannya.


Dari dua momen ini, saya kembali dihadapkan pada pertanyaan yang selama ini kerap muncul, mengapa banyak orang tua begitu ingin mengadakan pesta pernikahan yang meriah untuk anak-anaknya?

Jawabannya tentu beragam. Ada unsur prestise, ingin menunjukkan keberhasilan keluarga, atau ingin mengekspresikan rasa bangga. Tapi saya percaya, lebih dari itu, pesta pernikahan adalah wujud cinta dan syukur. Sebuah persembahan dari orang tua kepada anak, sebagai bentuk penghormatan atas perjalanan panjang mereka dalam menuntut ilmu, menjaga akhlak, dan bersiap membina rumah tangga.


Pesta bisa jadi besar, mewah, dan megah. Tapi tetap, semuanya akan selesai dalam hitungan jam. Yang tertinggal bukan gedung, bukan dekorasi, tapi ikatan suci dua insan yang berjanji untuk saling menjaga, mendampingi, dan membangun masa depan bersama.

Di sinilah saya kembali diingatkan akan hakikat pernikahan dalam Islam. Bahwa pernikahan bukan sekadar hajatan, bukan pula sebatas legalitas hubungan. Pernikahan adalah ibadah, jalan menuju kesempurnaan iman. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza—perjanjian yang kokoh. Ia disaksikan oleh langit dan bumi, dan menjadi awal dari tanggung jawab baru yang besar.


Pernikahan dalam Islam adalah wadah untuk mencintai karena Allah, memaafkan karena Allah, dan berjuang bersama dalam naungan rahmat-Nya. Ia adalah tempat belajar menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih bertanggung jawab, dan lebih rendah hati.

Karena itu, sepenting apa pun pesta, yang lebih penting adalah kesiapan jiwa. Dan sepenuh apa pun doa dan harapan orang tua, pada akhirnya masa depan adalah perjuangan anak-anak itu sendiri.


Sebagai ayah, saya hanya bisa berdoa, Semoga Ilham dan pasangannya kelak mampu membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Semoga ilmu yang diraih menjadi bekal, bukan sekadar gelar.

Dan semoga cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi jalan menuju surga-Nya.

Bekasi, 28 September 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Refleksi Seorang Ayah Menjelang Pernikahan Ananda, Dari Panggung Dunia ke Jalan Ibadah

Trending Now

Profil

iklan