Oleh : Adrinal Tanjung
Sesaat setelah rapat kerja dua hari yang padat dan penuh dinamika usai, tibalah waktu yang sering terabaikan namun sangat dibutuhkan: waktu jeda. Waktu untuk mengembalikan napas, meredakan tekanan pikiran, dan menenangkan batin agar kembali bugar menghadapi perjalanan panjang ke depan.
Keesokan harinya, saya dan rekan-rekan kerja—termasuk pimpinan—memilih untuk mengambil jeda itu dengan cara yang paling alami: menyusuri aliran Sungai Ayung di Ubud. Rafting di sungai ini bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi sebuah pengalaman menyentuh ke dalam diri.
Begitu perahu karet menyentuh aliran air yang jernih, terasa bagaimana beban pikiran perlahan luruh terbawa arus. Tawa teman-teman memecah kesunyian hutan Ubud. Riuh air terjun kecil, tepian tebing yang hijau, dan suara alam yang harmonis seolah menjadi terapi jiwa yang tak bisa ditukar dengan apa pun.
Ketika arus menjadi deras, kami saling menguatkan satu sama lain. Ketika arus kembali tenang, kami menikmati jeda itu dengan rasa syukur. Ada kebersamaan yang menghangatkan, ada persahabatan yang menyegarkan, dan ada rasa gembira yang tumbuh begitu alami.
Di tengah derasnya arus sungai, saya belajar lagi satu hal yang sederhana: hidup memang selalu seperti aliran Ayung—kadang tenang, kadang riuh. Namun selama kita tidak melawan arus, selama kita tetap saling menjaga dan berpegangan, kita akan selalu menemukan jalan menuju hilir yang damai.
Rafting hari itu menjadi pengingat bahwa jeda bukanlah kemewahan. Jeda adalah kebutuhan. Tempat kita merawat kejernihan, memulihkan energi, dan kembali merasa hidup.
Dan di Ubud yang hijau, di antara tawa rekan kerja dan gemericik Ayung yang tak henti mengalir, saya kembali merasakan kebahagiaan yang sederhana namun luar biasa, bahwa hidup akan selalu indah ketika dijalani dengan hati yang lapang dan syukur yang dalam.
Ubud, 16 November 2025


