Musi Dua di Bumi Kie Raha

Jumat, 16 Mei 2025 Last Updated 2025-05-16T09:00:26Z

Oleh : Adrinal Tanjung 


"Traveling — it leaves you speechless, then turns you into a storyteller."
Ibn Battuta, penjelajah Muslim abad ke-14

Pagi itu, selepas menunaikan sholat Shubuh, saya melangkah keluar dari hotel dengan semangat yang tak bisa ditahan. Udara Kota Ternate masih segar, dan langit perlahan mengusir sisa gelap malam. Tujuan pertama saya adalah Pantai Falajawa, salah satu titik favorit warga dan pengunjung untuk menikmati ketenangan pagi di tepi laut.

Di sana, saya duduk sejenak menikmati angin pantai yang menyapa lembut, sambil memandangi Gunung Gamalama yang berdiri megah di kejauhan. Kabut tipis yang menyelimuti puncaknya justru menambah kesan eksotis. Gunung ini bukan hanya elemen lanskap, tetapi simbol kekuatan dan ketenangan bagi Kota Ternate.


Di Pantai Falajawa, saya juga sempat mengabadikan momen dengan latar belakang pantai yang memukau. Foto tersebut saya ambil bersama salah satu karya saya yang berjudul Musi Dua Delapan Sembilan. Buku ini adalah sebuah catatan perjalanan bersama teman-teman selama menempuh pendidikan di SMA 2 Padang, Angkatan 89. Karya ini menggambarkan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu, dari momen reuni akbar 35 tahun hingga acara buka bersama, halal bihalal, dan berbagai kenangan manis lainnya. Buku ini juga ditulis bersama rekan satu alumni Ardian Riza, seorang dokter dan pegiat literasi menulis. Lebih istimewa lagi tak kurang 44 orang kontributor memperkaya isi buku ini. 

Buku ini saya tulis dengan perasaan yang sangat mendalam, selama hampir tujuh bulan. Setiap kata dan cerita di dalamnya adalah ungkapan dari persahabatan yang bertahan lama, mengalir dari kenangan yang tak bisa dilupakan. Dari Pantai Falajawa yang begitu indah, saya merasakan semangat untuk terus menulis, menggali kenangan, dan berbagi cerita tentang kebersamaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup saya.


Perjalanan dilanjutkan menuju Masjid Agung Al Munawwar masjid terbesar di Kota Ternate, rumah ibadah yang tak hanya indah secara arsitektural, tetapi juga sarat makna. Masjid ini menghadap langsung ke laut, menciptakan nuansa spiritual yang mendalam di tengah suasana pagi yang hening.

Tak jauh dari sana, saya menyempatkan diri mengunjungi Keraton Sultan Ternate. Di tempat ini, sejarah benar-benar terasa hidup. Bangunan tua yang terawat baik dan koleksi peninggalan Kesultanan menjadi pengingat akan kejayaan masa lalu Ternate sebagai pusat perdagangan rempah-rempah yang disegani dunia.

Meskipun cuaca pagi itu agak mendung, semangat menjelajah tidak surut. Beberapa momen penting saya dokumentasikan—bukan untuk sekadar arsip visual, tetapi sebagai cara untuk menangkap nuansa dan emosi dari setiap tempat yang saya datangi.


Petualangan pagi ditutup dengan santap nasi kuning khas Ternate di sebuah warung sederhana. Meskipun tersedia sarapan pagi di hotel, menikmati sarapan pagi di warung sederhana memberikan sensasi yang berbeda. Hidangan ini membuktikan bahwa kelezatan tidak selalu harus datang dari tempat mewah. Rasa yang hangat, gurih, dan akrab di lidah menjadi penutup sempurna dari rangkaian eksplorasi singkat ini.

Namun refleksi terdalam justru hadir saat saya kembali ke kamar hotel, bersiap untuk menuju bandara. Dari balik jendela, saya kembali melihat Gunung Gamalama dan laut yang tenang—pemandangan yang begitu menenangkan namun penuh makna. Momen itu seolah menjadi salam perpisahan yang diam-diam menyentuh hati. Dua malam di Ternate terasa sangat singkat. Kota ini menyimpan banyak cerita dan keindahan yang belum sempat saya telusuri sepenuhnya.


Selama tiga hari berada di Ternate dalam rangka tugas kedinasan, saya juga berkesempatan bertemu dengan beberapa rekan, termasuk Kepala Perwakilan. Percakapan dan pengalaman yang mereka bagikan memberikan perspektif baru—tentang pekerjaan, keluarga, tantangan daerah, dan semangat membangun dari wilayah timur Indonesia.

Rasanya akan sangat disayangkan jika semua itu hanya disimpan dalam ingatan. Tulisan adalah oleh-oleh perjalanan yang tak pernah basi. Ia merekam bukan hanya apa yang terlihat, tetapi juga apa yang dirasakan.

Ternate, dalam segala keterbatasan waktu, telah memberikan banyak pelajaran. Ia adalah pertemuan antara alam yang indah, sejarah yang agung, dan manusia yang hangat. Sebuah kota yang layak untuk dikunjungi kembali, dengan waktu yang lebih lapang dan langkah yang lebih panjang.


Dan suatu hari nanti, saya pasti akan kembali. Ternate, kota yang telah meninggalkan kesan mendalam ini, akan menjadi tempat di mana saya menyelesaikan karya terbaru saya. Saat ini, saya telah menulis tak kurang dari 50 buku, dan salah satunya adalah Musi Dua Delapan Sembilan—sebuah karya tentang kebersamaan yang tak lekang oleh waktu. Namun saya yakin bahwa karya-karya berikutnya akan menemukan banyak inspirasi di Kota Ternate. Semoga suatu hari, impian ini menjadi kenyataan—dan Ternate akan kembali menjadi saksi perjalanan saya yang tak pernah berakhir.

Pantai Falajawa Kota Ternate, 16 Mei 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Musi Dua di Bumi Kie Raha

Trending Now

Profil

iklan