Lamang Tapai, Reuni, dan Paris van Java

Rabu, 17 September 2025 Last Updated 2025-09-17T01:09:35Z

Oleh : Adrinal Tanjung

Senin sore kemarin, saat langit mulai beranjak temaram dan udara Bandung terasa sejuk seperti biasa, saya akhirnya tiba di kota ini. Bandung—selalu punya cara tersendiri untuk menyambut siapa pun yang datang. Julukannya sebagai Paris van Java rasanya memang tidak berlebihan. Ada sesuatu dari suasana dan langitnya yang membuat saya selalu merasa akrab, seolah pulang meskipun bukan kampung halaman.

Kedatangan kali ini, seperti biasa, karena urusan pekerjaan. Dua jam pertama di kota ini saya habiskan untuk menyelesaikan beberapa tugas yang sudah menanti sejak dua minggu terakhir. Usai salat Isya sebelum check in hotel, sekadar ingin menghirup udara malam Bandung, saya menuju Kawasan Braga.

Braga buat saya bukan cuma sekadar jalan tua yang dipenuhi bangunan peninggalan masa kolonial. Ia seperti lorong waktu—membawa saya kembali ke masa-masa lampau yang bahkan tidak saya alami, tapi entah kenapa terasa akrab. Di sana, Gedung Merdeka berdiri dengan tenangnya. Tempat bersejarah ini, yang menjadi saksi Konferensi Asia Afrika 1955, selalu memancarkan aura berbeda. Setiap saya lewat, ada semacam getaran kecil yang membuat saya melangkah lebih pelan, lebih tenang. 


Dari sana, saya lanjut berjalan ke Alun-Alun Kota Bandung. Tempat ini selalu hidup, terutama di malam hari. Para pengunjung menikmati malam sambil sesekali mengabadikan momen dengan kamera ponsel mereka. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya hangat, dan di latar belakang, Masjid Raya Bandung yang masih terlihat megah. 

Namun ada satu tujuan khusus malam itu, Lamang Tapai Ajo Minang, di Jl. Cikapundung, tak jauh dari kawasan Braga. Tempat sederhana ini sering jadi langganan setiap kali saya datang ke Bandung. Rasanya seperti ritual kecil yang tak boleh dilewatkan. Duduk di sana, menikmati seporsi lamang tapai dengan sarikaya hangat, rasanya seperti pulang ke tanah Minang. Gurihnya ketan yang dipanggang dalam bambu, manisnya tapai hitam, dan lembutnya sarikaya—semuanya menyatu dan membawa saya pada kenangan masa lalu. 

Saat menyantap Lamang Tapai, saya teringat satu hal yang membuat hati ikut hangat yaitu Reuni Akbar Akuntansi '89 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Padang, yang tinggal menghitung minggu. Rencana yang sudah lama disusun itu akhirnya semakin dekat dengan kenyataan. Dan salah satu hal yang membuat semangat untuk hadir semakin besar adalah… makanan!

Ya, bukan sembarang makanan—sajian khas Ranah Minang yang memanjakan lidah dan membangkitkan rindu. Diantaranya Lamang Tapai. Bayangan duduk bersama kawan-kawan lama sambil menikmati ketan hangat dengan tapai hitam yang manis, membuat saya tak sabar menanti harinya tiba.


Tak hanya lamang tapai, akan ada juga sarikaya, yang membalut suasana dengan kehangatan kenangan masa kuliah dulu. Makanan bukan sekadar hidangan, tapi juga pengikat cerita—dan cerita-cerita itulah yang akan kita bawa pulang dari reuni nanti.

Sebelum bergerak menuju hotel malam itu, saya berjalan lagi menyusuri Braga. Langkah pelan, tak dikejar waktu. Di tengah sepinya malam dan gemerlap lampu kota, saya merasa ringan. Kota ini, sekali lagi, berhasil memberi ruang untuk diam, untuk berpikir, dan untuk merasa.

Bandung memang seperti itu—tak pernah terlalu ramai untuk ditinggalkan, tapi juga tak pernah terlalu sepi untuk dilupakan.

Bandung,  16 September 2025

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lamang Tapai, Reuni, dan Paris van Java

Trending Now

Profil

iklan