Oleh Adrinal Tanjung
Empat hari berada di Bandung dalam rangka tugas kantor sejatinya bukan hanya melaksanakan perjalanan dinas, membahas dan menyelesaikan penugasan. Bagi saya, ini adalah perjalanan yang sarat makna, tentang perjumpaan, tentang kata-kata, dan tentang kehangatan silaturrahmi yang memperkaya jiwa. Seperti kebiasaan yang selalu saya jaga, menulis menjadi ruang refleksi untuk menangkap makna-makna kecil yang sering luput dalam kesibukan.
Menyulam Kata, Menguatkan Makna
Hari pertama saya tiba di Bandung, sebelum sempat menjejakkan kaki ke hotel tempat menginap, saya menyempatkan diri bertemu dengan seorang sahabat pegiat literasi menulis. Kami berbincang selama hampir dua jam, membahas dan memfinalisasi naskah buku terbaru saya, Refleksi 55: The Power of Silaturrahmi.
Buku ini adalah rangkuman catatan reflektif yang saya tulis hampir selama satu tahun terakhir, dan rekan saya ini turut berperan dalam proses penyuntingannya. Diskusi kami juga menyangkut konsistensi berkarya di tengah tuntutan pekerjaan dan bagaimana silaturrahmi menjadi sumber kekuatan dalam kehidupan.
Dua hari saya fokus dengan pelaksanaan tugas bersama tim. Semua berjalan sesuai rencana tinggal penyempurnaan materi dengan menggali informasi dari unit kerja di kantor perwakilan instansi saya bekerja.
Sebelum Kembali ke Jakarta
Usai agenda resmi , di hari terakhir sebelum kembali ke Jakarta, saya bertemu dua rekan lama, masing-masing membawa kenangan dan pelajaran tersendiri.
Pertemuan pagi dengan teman satu angkatan saat kuliah di Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi Angkatan 89 Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang. Rekan yang masih terlihat sederhana dan rendah hati ini, bertugas di Kantor Wilayah Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Jawa Barat di Bandung. Beberapa kenangan masa kuliah yang kembali hadir dalam perbincangan kami.
Kami mengenang saat kampus masih berada di Jalan Perintis Kemerdekaan 77, Padang. Empat semester kami jalani di sana, kemudian, kami pindah ke kampus baru di kawasan Limau Manis—kompleks hijau yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Padang.
Tak hanya bernostalgia, kami juga mengenang masa-masa awal setelah lulus—ketika harus meninggalkan kota Padang dan hijrah ke Jakarta untuk membangun karier. Perjuangan mencari pekerjaan, berkarir dengan berbagai penugasan.
Hidup memang tak selalu mudah, tapi penuh pelajaran berharga. Hidup ini adalah anugerah yang harus disyukuri.
Diskusi kami pun berkembang ke banyak hal tentang pekerjaan, tentang keluarga, bahkan tentang kapan saatnya pensiun.
Pertemuan berlanjut di siang hari, dengan seorang sahabat seperjuangan ketika menempuh program doktoral Ilmu Sosial di Universitas Pasundan, Bandung. Ia dahulu bertugas di salah satu pemerintah daerah kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Siang tadi, kami berdiskusi panjang tentang dinamika dunia kerja yang terus berubah, tentang bagaimana kami menyikapi tantangan birokrasi. Rekan ini baru saja berpindah posisi menjadi tenaga fungsional sebagai dosen di salah satu sekolah kedinasan yang berlokasi di Kalimantan Barat.
Dari hari pertama hingga menjelang kembali, Bandung menjadi ruang singgah yang mempertemukan saya dengan begitu banyak cerita. Pekerjaan membawa saya ke ibu kota Provinsi Jawa Barat selama empat hari membuat saya merenungkan lebih dalam apa yang saya jalani. Melalui silaturrahmi membuat semuanya terasa lebih hidup.
Kehangatan Silaturrahmi
Work (pekerjaan), words (kata-kata), dan warmth (kehangatan) merupakan tiga hal yang saya rasakan begitu kuat selama perjalanan ini. Pekerjaan membawa tanggung jawab dan tantangan. Kata-kata menjadi cara untuk memahami, menyampaikan, dan merawat pengalaman. Sementara kehangatan pertemuan dengan rekan-rekan lama memberi energi batin yang tak tergantikan.
Menulis di tengah kesibukan bukanlah beban, tapi justru cara saya menjaga agar setiap langkah dan percakapan yang saya jalani tak sekadar berlalu, melainkan menjadi bagian dari mozaik kehidupan yang utuh dan bermakna. Saya pun meyakini dengan silaturrahmi menghangatkan jiwa.
Hotel Mercure Bandung, 18 September 2025