Oleh : Adrinal Tanjung
Perjalanan hidup sering kali tidak berjalan lurus. Ada persimpangan, ada perhentian, ada pula kejutan-kejutan kecil yang membuat kita berhenti sejenak untuk merenung. Dari satu kota ke kota lain, dari satu amanah menuju penugasan berikutnya. Semuanya menjadi bagian dari takdir pengabdian yang harus saya jalani dengan tulus dan penuh kegembiraan.
Dari Ranah Minang, Jejak Itu Dimulai
Perjalanan dinas dari Jakarta menuju Kota Padang di penghujung bulan September 2025, perjalanan ini bermula. Kota tempat saya dilahirkan, tidak terlalu padat dan macet, dan kota yang menyimpan banyak kenangan. Di kota ini, pengabdian menemukan pijakannya. Bekerja, menulis, dan berkontribusi dengan sepenuh hati. Banyak kenangan tertinggal, tentang tanggung jawab, kontribusi, kebersamaan, dan keikhlasan.
Singgah di Kota Semarang
Rampung penugasan di Kota Padang selanjutnya kembali ke Jakarta. Langkah kemudian berlanjut ke Kota Semarang. Melaksanakan tugas dan pengabdian sepenuh hati. Di sela tugas negara, Tuhan menghadirkan momen berharga pertemuan dengan putri tercinta yang sedang merampungkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang.
Kami bertemu pada malam hari, selama empat hari kedatangan dan berbagi cerita dalam suasana kehangatan dan penuh makna. Dua jam makan malam yang hangat itu seakan menjadi jeda reflektif di tengah padatnya tugas. Sebelum saya kembali ke Jakarta, kami kembali bertemu saat sarapan menutup rutinitas empat hari di Kota Atlas.
Dalam percakapan itu, saya bercerita tentang pekerjaan, perjuangan, dan kejutan-kejutan kehidupan di usia yang hampir 55 tahun. Tentang arti kesabaran, konsistensi, dan pentingnya menjaga nilai dalam setiap langkah pengabdian. Putri saya mendengarkan dengan seksama — seolah memahami bahwa hidup tidak sekadar mengejar hasil, tetapi menjalani proses dengan hati.
Momen itu menjadi pengingat bahwa hidup adalah perjalanan. Perjalanan yang layak untuk diabadikan, selalu ada ruang untuk berbagi nilai, menanamkan semangat dalam meraih kesuksesan hidup.
Menulis, Merangkai, dan Merenungi
Berkarier di instansi pemerintah selama hampir tiga dekade, di sela waktu menulis buku hampir dua dekade. Tentu saja bukanlah perjalanan yang ringan. Banyak tantangan, banyak pengorbanan. Namun menulis selalu menjadi cara untuk menemukan keseimbangan, antara bekerja dan merenung, antara memberi dan belajar.
Menulis bukan sekadar hobi, tetapi bentuk syukur. Ia menjadi sarana untuk mengabadikan nilai-nilai hidup, merekam perjalanan, dan menebarkan inspirasi. Melalui tulisan, setiap pengalaman menjadi cahaya yang bisa menerangi langkah diri sendiri dan orang lain.
Melangkah ke Pulau Dewata
Dalam beberapa hari ke depan, perjalanan akan berlanjut ke Pulau Dewata. Sebuah babak baru pengabdian menanti. Di sana, tugas negara kembali memanggil untuk dijalankan dengan sepenuh hati. Pulau Dewata bukan sekadar tempat dinas — ia adalah ruang perenungan dan pembelajaran baru tentang makna hidup, tanggung jawab, dan kesadaran akan nikmat yang terus mengalir.
Sebagaimana firman-Nya: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Setiap perjalanan, setiap pertemuan, dan setiap kesempatan untuk berbuat baik adalah bentuk nikmat yang pantas disyukuri.
Menjalani takdir pengabdian berarti menerima setiap langkah dengan keikhlasan. Dari Padang, singgah di Semarang, hingga Pulau Dewata adalah bagian dari kisah panjang seorang abdi negara yang terus belajar, menulis, dan memberi arti bagi kehidupan.
Pada akhirnya, harapan akan masa depan adalah kekayaan hidup paling berguna. Ia menjadi sumber semangat untuk terus melangkah, menjadi pelita di tengah perjalanan, dan menjadi alasan mengapa pengabdian harus terus dijaga dengan sepenuh hati.
Stasiun Tawang Semarang, 18 Oktober 2025