Oleh : Adrinal Tanjung
Semangat menulis menjelang Subuh selalu menghadirkan ruang sunyi yang sakral. Empat puluh lima menit di tepian waktu itu terasa begitu berharga, seolah semesta sengaja menunda langkahnya agar jiwa dapat bernapas lebih perlahan. Di antara hening yang meneduhkan, saya membiarkan kata-kata mengalir sebagai refleksi tentang hidup dengan segala warna dan warninya. Tentang kesedihan dan kegembiraan, luka dan harapan, keheningan dan kebijaksanaan.
Di jam-jam ketika dunia masih terlelap, hati menjadi lebih jujur. Ia tak lagi bersembunyi di balik topeng kesibukan atau gemerlap pencapaian. Justru di titik sunyi itulah manusia berani mengakui rapuhnya, menyentuh kembali sisi terdalam dari dirinya, dan menyadari bahwa tak semua persoalan bisa ditaklukkan dengan kekuatan semata. Ada saatnya manusia harus tunduk dan berserah.
Beberapa waktu terakhir, saya menyimak kisah perjalanan spiritual seorang sosok inspiratif, Angelina Sondakh. Dari layar sederhana, terpancar pelajaran besar tentang bagaimana duka mampu mengubah arah hidup seseorang. Ia yang pernah berada di puncak gemerlap dunia, harus melalui lorong sunyi penuh ujian. Namun justru di sanalah makna kehidupan menemukan bentuknya yang paling jujur. Luka yang dialami tidak menjadikannya tenggelam, melainkan membawanya pulang kembali ke haribaanNya dengan kesadaran yang lebih utuh.
Duka, pada akhirnya, bukan sekadar kepedihan. Ia adalah bahasa Tuhan yang lembut namun tegas, mengajak manusia berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan menata ulang orientasi hidupnya. Dalam duka, manusia belajar bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Bahwa ada kuasa yang lebih besar dari sekadar rencana-rencana duniawi.
Dalam keheningan menjelang Subuh, ayat suci itu kembali terngiang, seolah menjadi pelukan spiritual bagi hati yang letih.
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan itu ada kemudahan."(QS. Al-Insyirah: 5–6)
Janji itu tak hanya tertulis di mushaf, melainkan hidup dalam setiap episode perjalanan manusia. Seperti fajar yang tak pernah ingkar setelah malam, demikian pula kemudahan akan selalu menyusul setiap kesulitan, meski terkadang hadir dalam bentuk yang tak kita duga.
Angelina dan banyak sosok inspiratif lainnya menunjukkan bahwa jalan kembali kepada Tuhan sering kali dimulai dari reruntuhan. Dari hancurnya rasa percaya diri, dari tangis yang panjang dalam kesendirian, dari rasa kehilangan yang seolah tak berujung. Namun di sanalah cahaya mulai menyelinap, pelan namun pasti, menuntun langkah menuju kesadaran baru.
Saya pun menyadari, dalam hidup ini, luka bukan untuk disesali semata. Ia adalah guru yang mengajarkan kerendahan hati, pengingat bahwa hidup tidak selalu tentang kemenangan, tetapi tentang makna. Ketika dunia terasa menjauh, justru langit terasa semakin dekat.
Menulis di waktu Subuh menjadi semacam ritual sunyi, tempat jiwa berlabuh sejenak dari gelombang dunia. Setiap kalimat yang ditorehkan terasa seperti dzikir yang perlahan menenangkan, menghapus resah, dan menguatkan iman. Di antara tarikan napas yang pelan, saya belajar bahwa menerima adalah bentuk tertinggi dari keikhlasan. Duka adalah jalan pulang. Luka adalah cahaya. Dan keheningan adalah bahasa Tuhan yang paling lembut.
Ketika adzan Subuh berkumandang, menembus sisa gelap malam, saya tersenyum lirih. Bukan karena semua persoalan telah selesai, melainkan karena hati telah menemukan arah. Sebab pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa keras kita melawan, melainkan seberapa tulus kita kembali. Dan dalam setiap luka, selalu tersimpan cahaya yang setia menunggu untuk ditemukan.
Pulau Dewata, 25 November 2025
