Oleh : Adrinal Tanjung
Keniscayaan adalah sebuah kata yang kerap hadir dalam renungan hidup, namun jarang benar-benar kita maknai sepenuh jiwa. Ia bukan sekadar kepastian yang dingin dan kaku, melainkan irama tak terelakkan yang mengalir dalam perjalanan waktu, menuntun langkah manusia menuju ruang-ruang pembelajaran yang tak selalu ramah, namun sarat hikmah.
Di antara riak takdir itu, berdirilah sosok Hanafi. Ia bukan tokoh yang berjalan di atas karpet merah pujian, melainkan peziarah sunyi yang setia meniti jalan terjal dan berliku. Di satu sisi, ia mengabdi sebagai abdi negara, menyulam tanggung jawab dalam disiplin dan dedikasi. Di sisi lain, ia memanggul sebuah panggilan yang lebih personal, lebih sunyi, namun tak kalah agung yaitu menulis.
Dua dekade bukanlah waktu yang singkat. Ia adalah rentang yang menguji kesabaran, mengikis keraguan, sekaligus menempa keteguhan. Bagi Hanafi, menulis bukan pelarian dari realitas, melainkan jembatan untuk memaknai realitas itu sendiri. Di sela tugas, dalam sunyi malam atau jeda di antara kesibukan, ia merangkai kata, menata rasa, mengabadikan fragmen hidup agar tak larut ditelan lupa.
Perjalanannya bukan jalan yang lurus dan ramah. Ada hari-hari ketika kalimat terasa beku, ketika keyakinan nyaris goyah, ketika lelah menjelma bisik yang melemahkan. Namun justru di sanalah keniscayaan itu bekerja. Setiap upaya yang jujur, setiap langkah yang setia pada niat, akan menemukan jalannya sendiri menuju makna.
Hanafi memilih untuk tetap optimis. Ia percaya bahwa setiap goresan pena adalah doa yang pelan-pelan berbuah. Ia mengerti, keberhasilan bukan semata tentang sorot cahaya, melainkan tentang kesediaan untuk terus berjalan meski cahaya itu belum tampak. Dalam diamnya, tersimpan keberanian. Dalam kesederhanaannya, tumbuh kebijaksanaan.
Dan di titik inilah, kita belajar darinya. Hidup memiliki keniscayaan yang tak bisa ditawar, namun selalu bisa dimaknai. Bahwa menulis, seperti hidup, adalah ibadah panjang yang menuntut kesetiaan. Bahwa perjuangan, seberat apa pun jalannya, adalah cara semesta membentuk kita menjadi manusia yang lebih utuh.
Hanafi bukan sekadar penulis atau abdi negara. Ia adalah saksi dari waktu dan penjaga makna. Hanafi adalah peziarah kata yang percaya selama langkah tak berhenti dan doa tak putus, hasil adalah soal waktu. Waktu, akan selalu berpihak pada mereka yang setia.
Pada akhirnya, Hanafi menyadari bahwa setiap langkah, setiap kata yang ia rangkai, bukan sekadar jejak ambisi, melainkan doa yang menjelma perjalanan. Di balik lelah dan sunyi, ia belajar bahwa keberanian sejati lahir dari pasrah yang teguh, dari keyakinan bahwa segala upaya baik tak pernah sia-sia di hadapan-Nya.
Hidup bukan hanya tentang seberapa jauh ia melangkah, tetapi seberapa ikhlas ia berserah. Dan dalam sunyi yang paling hening, ia mendengar bisikan langit. Teruslah menulis, teruslah mengabdi, sebab di sanalah cahaya tumbuh, dan di sanalah jiwanya menemukan pulang.
Denpasar, 24 November 2025
