Oleh : Adrinal Tanjung
Sabtu tengah malam. Ketika sebagian besar orang terlelap, Hanafi justru terjaga. Sunyi merambat pelan. Di hadapannya, layar ponsel menyala. Awalnya seperti pesan biasa, mungkin sapaan ringan atau pengingat pekerjaan. Namun ketika dibuka, detaknya berubah. Seolah waktu tiba-tiba melambat.
Sebuah surat keputusan. Mutasi. Hanafi membaca ulang berkali-kali, berharap itu hanya salah baca atau keliru kirim. Namun semua nyata. Tidak ada ruang untuk ragu. Tidak ada pilihan lain selain menerima bahwa takdir sedang mengetuk dengan cara yang lembut namun tegas.
Hidup memang penuh kejutan. Manusia merencanakan, namun Tuhan sesekali datang di jam paling sunyi untuk mengubah arah cerita. Menjelang hari pernikahan putra sulungnya, kabar mutasi ini hadir seperti gelombang tak terduga. Mengaduk rasa antara bahagia sekaligus getir. Antara haru dan perenungan.
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS Al Insyirah 6)
Ayat itu muncul begitu saja di benaknya. Seolah memastikan bahwa setiap gejolak yang ada di dalam hati, ada obat ketenangan yang telah disiapkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dan di antara seluruh perasaan itu, Hanafi justru merasakan hening yang menenangkan. Seolah Tuhan berbisik pelan. “Teruslah berjalan. Jalan penuh cahaya sudah menantimu.”
Pulau Dewata kini menjadi tujuan baru. Bukan sekadar tempat tugas. Tapi ruang baru untuk menapaki pengabdian selanjutnya. Ruang menemukan makna baru dari perjalanan hidup, karier, pengorbanan, dan kepasrahan.
Catatan ini Hanafi tulis sebagai penanda bahwa kadang hidup mengajarkan kedewasaan bukan lewat peristiwa besar, tetapi lewat satu jam sunyi, satu pesan singkat, satu keputusan yang mengubah arah langkah.
Menulis dan mengabdi. Dua jalan yang terus ia tempuh dengan hati. Barangkali inilah jejak Hanafi yang akan tersisa. Jejak seseorang yang terus belajar meyakini, setiap perubahan adalah bagian dari takdir yang sudah ditulis indah dari semula.
(Bersambung)
Denpasar, 7 November 2025

